Rabu, 10 Februari 2010

Kepala Dusun

Kisah kekuasaan para pemimpin punya lembaran sejarah yang abadi. Baik atau buruknya. Mulia atau hinanya. Di setiap masa selalu saja ada pemimpin pahlawan. Tapi pada saat yang sama ada saja yang jadi pecundang. Ada yang adil, tapi hampir bersamaan ada juga pemimpin culasnya. Seakan sebuah keniscayaan. Ada orang-orang baik, banyak pula orang-orang yang buruk disisi lainnya.Lihatlah di media elektronik. Betapa tragis. Seorang nenek yang hanya mengambil tiga buah kakao, harus mendekam di penjara satu setengah bulan? Betapa mudah palu pengadil diketuk buat rakyat biasa, kalau tidak mau disebutkan rakyat jelata. Sepertinya palu begitu berat, hingga hakim tak kuat memegangnya terlalu lama. Tapi begitu terdakwanya ‘bukan orang biasa’. Palu begitu ringan. Bahkan seperti di ruang hampa udara. Palu melayang-layang. Seakan nggak mungkin dijatuhkan.

Nenek itu ‘mencuri’ bukan memerkaya diri. Ia mengambil kakao itu untuk dijadikan bibit. Untuk ditanam kembali.

Nenek itu memang salah. Tapi. Adilkah tiga buah kakao harus ditebus dengan satu bulan setengah di sel tahanan? Kasus ini bukan hanya  ketidakberdayaan rakyat biasa tapi juga wujud ketidakberdayaan pemimpinnya?

Kami memiliki kepala dusun atau biasa disebut kadus. Kadus kami biasa. Seperti layaknya kadus lainnya. Hanya...

Kepala dusun kami sudah tiga kali masa jabatan belum juga diganti.

Pada saat pemilihan yang pertama dahulu, ia hanya menang tipis dari kandidat yang lain. Tapi setelah kemenangan yang pertama itu, membuat warga ‘tak ingin berpindah ke lain hati’.

“Selama pak kadus masih hidup, nggak perlu kita adakan pemilihan lagi.,” sebut salah seorang warga, atas kepemimpinannya selama ini.

Waktu pemilihan yang pertama, ia memang tidak ingin jadi kadus. Ia hanya warga biasa, yang menjalankan kehidupannya sebagai layaknya seorang hamba. Bahkan saat ‘tim sukses’nya ingin mempopulerkan dirinya, ia menolak. Tapi setelah didesak, ia mau dengan syarat foto dirinya haruslah disandingkan dengan foto kandidat lainnya.

“Jangan menyodorkan warga tanpa pilihan. Kalau semua kandidat terpampang, warga akan dapat memilihnya. Dan inilah yang katanya bernama demokrasi.”

 Akhirnya dengan sangat terpaksa, tim suksesnya memesan gambar semua kandidat calon kadus. Sekalipun menurut mereka ini tidak lazim.

Kadus kami sangat ngirit dalam berbicara, tapi dalam hal dakwah bil hal, luar biasa. Bahkan sangat boros.

Suatu kali pak kadus pernah berujar, “Yang membuat manusia naik derajatnya bukan frekuensi shalat dan puasanya. Bukanlah semua ibadah kita hanyalah ungkapan rasa syukur kita kepada Allah, yang sering kali lebih sedikit dari anugrah Allah kepada kita? Yang mendekatkan derajat kita kepada Allah adalah kedermawanan kita.”

Pak kadus kami ini layaknya seorang tuan guru. Seorang kyai dari sekedar kadus. Ia telah zuhud total.

Dalam masa kepemimpinannya, bukan tidak pernah ada warga yang demo, menentang kebijakannya. Tapi ini dianggap biasa. Bagi pak kadus, riak kehidupan itu hal yang lumrah. 

Tiap kali pendemo dihadapkan pak kadus, mereka biasanya keluar dengan muka tersipu malu.

Kadus kami benar-benar bijaksana (bukan bijaksini, yang hanya mementingkan dirinya sendiri).

Saat dirinya didaftarkan untuk mewakili lomba kadus teladan tingkat kabupaten, ia hanya bergumam, “Untuk apa keteladanan dilombakan. Apalagi dipamer-pamerkan. Bukankah keteladanan itu untuk ditiru? Dicontoh? Masak keteladanan dikasih hadiah?”

Pak kadus  telah berhasil membuat warga kami yang miskin menjadi berkecukupan. Warga kami memang masih banyak yang miskin, tapi mereka telah merasa cukup.

Pak kadus kami ini sebagai pribadi sudah ‘berpaling dari dunia’, ia sudah steril dari segala kepentingan duniawi, sudah menang melawan pamrih, harta, kedudukan, dan popularitas. 

Ia telah zuhud total. Yang menjadi pedoman setiap langkah dan ucapannya bukan bagaimana manusia memandangnya, tapi bagaimana Allah menilainya.(eswe)